Photo by Muhammad Moin Ulhaq from Pexels |
Si Busung itu menghentikan langkah kecilnya. Berhenti tepat di samping tumpukan makanan yang bahkan sudah tak berupa. Makanan itu sudah dirubung semut. Yang tersisa hanyalah tulang-belulang tak berbadan. Dagingnya sudah lenyap. Namun baginya itu adalah berkat. Anugerah yang masih sempat manusia-manusia agung itu berikan. Sisakan meski separuh saja tak terelakkan. Ia pungut bungkusan itu. Tinggalah remahan-remahan nasi yang bahkan wujudnya mampu terhitung jari.
Wadahnya berantakkan. Bau tak sedap hinggap ke dalam indra penciuman Si Busung. Walaupun begitu, ia berusaha menyenyahkan semuanya. Ia berjongkok. Tubuh kecilnya membelakangi badan jalan.
Dengan gerakan perlahan, jari-jemarinya membuka bungkusan nasi kotak itu. Matanya berkaca-kaca. Mulutnya berair. Perut busungnya berkeroncong. Cacing-cacing di dalam tubuhnya bergerilya. Berdemo. Memberontak. Ya Tuhan, sudah tiga hari tiga malam ia tak mendapat asupan makanan.
Biarlah sisa makanan itu tak banyak. Yang penting ia bisa makan enak. Biarlah daging itu hilang, setidaknya ia bisa merasakan bagaimana gurihnya sisa-sisa daging yang masih melekat pada tulangnya. Biarlah sebagian nasinya dikerubungi semut, ia mampu mengikhlaskannya. Tak masalah berbagi sedikit makanan dengan semut. Batinnya dalam hati.
Ia memanjatkan doa yang paling serius. Air liurnya sudah tak terbendung lagi. Lapar. Sudah sangat lama ia merasa begitu kelaparan. Si Busung bersiap-siap menyuapkan nasi itu ke dalam mulutnya. Bersiap-siap hendak merasakan sebuah kenikmatan yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan.
Namun, justru gerakan menyuapnya terhenti. Tepat di depan mulut yang sudah menganga. Satu hembusan nafas keluar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. kembali menutup bungkusan yang berada di genggamannya.
Ia mengatupkan bibirnya. Sesosok pria jangkung, berbahu lebar, berwajah sangar dan berkulit hitam berdiri di belakangnya. Menjulang tinggi menghalangi sinar matahari dari hadapannya.
“Dasar anak sialan! Enyah kau dari rumah tuanku. Malu aku melihat batang hidungmu di sini.” Pria sangar itu menendang tubuh mungil Si Bungsu. Darah daging yang bahkan tak pernah ia anggap hadir. Benih yang ia benci. Anak yang menurutnya hanya pembawa kesialan.
Ia terkapar, tak berdaya melawan makhluk kejam yang menyerangnya. Hatinya teriris. Rasanya perih sekali. Melihat perlakuan pahlawan dalam hidupnya. Si Busung selalu menganggap bahwa Bapak adalah panutannya. Bapak adalah orang baik. Bapak tak pernah berbuat salah. Jika ia dimarahi, maka itu mutlak kesalahannya sendiri.
“Apa kau lihat-lihat? Mau aku hajar, hah?” Bapak berkacak pinggang di hadapan Si Busung. Sedangkan dirinya hanya menundukkan kepala tanpa berani membalas pertanyaan bapaknya.
Emosi bapaknya semakin menyala. Tersulut oleh sumbu kekesalan. Wajah Si Bungsu seolah-olah haram untuk berada di dekat bapaknya. Ia akui, dirinya memang menjijikkan. Wajahnya tak sedap ketika di pandang. Tubuhnya kurus, kering kerontang. Hanya perutnya yang tampak membuncit. Kalau Mamak biasa bilang itu busung. Kulit busiknya langsung melilit di sekujur tubuhnya. Tulang-tulangnya bahkan terlihat jelas tercetak di bawahnya.
Wajahnya sangat kusam tertutupi oleh debu jalanan, mulutnya kering, begitu juga dengan giginya yang mulai menguning. Wajar, Si Busung tak memiliki cukup uang untuk membeli odol dan sikat gigi. Bajunya koyak, teriknya Sang Mentari masuk melalui celah-celah kecil bajunya. Bila malam tiba, dinginnya Sang Malam meniupi tubuhnya yang lemah. Namun ada satu keindahan yang tak pernah lepas darinya yaitu dua mata bening miliknya yang luar biasa cantik.
Tergontai-gontai Si Busung berjalan. Kepalanya tertunduk terus. Untuk sekedar mengangkat dagu dan menatap jalanan saja tampak ragu. Rasanya ia terlalu rendahan bagi kaum manusia yang berjas-jas mahal, sepatu kulit mengkilap, kemana-mana menaiki kuda mahal yang beroda empat. Ia hanyalah sampah masyarakat. Kata Bapaknya begitu. Ia pun menelan semua kenyataan dengan getir bahwa keberadaan dirinya hanyalah beban bagi Sang Mamak dan Bapak.
Tapi, tidakkah para manusia itu sedikit saja merasa iba ketika melihat keadaan dirinya yang begitu memprihatinkan? Pakaian compang-camping, muka kusut, kulit berbusik, keringat adalah pewangi sehari-harinya, teriknya matahari adalah teman karib baginya. Makanan adalah tujuan hidupnya. Punya cita-cita adalah hal mustahil yang bahkan sejengkal saja takkan mampu ia raih. Punya apa dia di dunia ini? Uang saja tak punya.
Uang. Uang. Dan uang. Mengapa hidup ini harus bergantung dengan uang? Ketika hampir semua makhluk di bumi ini berkerja dua puluh empat pertujuh jam, bahkan dengan bergadang, lembur supaya mendapat bonus dari atasannya. Tetapi mengapa Busung tak memperdulikan masalah kertas yang bernominal itu?
TAMAT.
Cerpen ini dibuat pada tanggal 16/07/2020
0 comments