Photo by Leah Kelley from Pexels
Aku melangkahkan kaki dengan berani, menapaki rerumputan yang mulai tumbuh mengelilingi rumah yang hampir seumur hidup aku tempati.
Pikiranku bergelung.
Kedua mataku berembun.
Mengeluarkan genangan air
mata yang terasa mulai menumpuk.
Sore itu angin berhembus dengan tenang menerbangkan beberapa helai daun kering yang sudah mati sejak lama. Pohon yang tadinya rindang, sekarang tinggal kerangka saja.
Gersang.
Tak ada yang berwana hijau
segar, semuanya terlihat semu.
Keheningan tiba-tiba mengerubungi kami.
Ya.
Aku dan seorang wanita paruh baya.
Berdiri sendirian.
Hanya di temani apron kesayangannya.
Aku tersenyum ke arahnya.
Tak terasa tetesan air mata jatuh dari
pelupuk mataku. Aku berlari menghampirinya. Buru-buru mendekati wanita yang selama
ini aku rindukan. Wanita yang tak pernah absen barang sehari pun untuk
menanyakan kabarku. Wanita yang selalu menunggu kepulangan anak satu-satunya.
Wanita yang tanpa lelah, menanti kehadiran anak semata wayangnya. Wanita yang
tak pernah bosan menunggu balasan pesan dariku.
Wanita yang senantiasa selalu mendoakanku, meskipun aku tak pernah meminta.
Ya, wanita itu adalah Ibuku.
“Assalamualaikum, Ibu.” Ucapku sedikit terbata. Aku
memberinya pelukkan terhangat dan tererat sepanjang masa.
“Wa’alaikumsalam, Nak.” Ibu membalas pelukanku.
Tenang.
Itulah perasaan yang hinggap.
Perasaan itu, rasa
yang selama ini menghantuiku perlahan lenyap. Kegundahan yang sempat aku
rasakan tak lagi membayang-bayangi. Hatiku rasanya benar-benar lega.
Beban-beban yang belum sempat tersampaikan menguap begitu saja.
Dalam pelukan, aku menangis.
Aku tak kuasa
membendungnya lagi.
Lama-kelamaan aku semakin mengeratkan pelukanku. Semakin sadar bahwa aku tak pernah benar-benar memeluknya. Yang kutahu, selama ini aku hanya mampu tenggelam dan terus tenggelam ke dalam imaji yang selalu kubuat. Karena aku tahu, sosok itu hanyalah sekumpulan citra yang berusaha kubuat riil.
Namun pada kenyataannya, bayang-bayang tak pernah berubah menjadi bayangan sungguhan. Hanya kenangan yang membuatnya seolah itu semua nyata.
Farah Mayu, 2018.