Cerpen: Cit-ra (Ibu)

By Farah Mayu - February 11, 2021

 

Photo by Leah Kelley from Pexels

Aku melangkahkan kaki dengan berani, menapaki rerumputan yang mulai tumbuh mengelilingi rumah yang hampir seumur hidup aku tempati. 

Pikiranku bergelung.

Kedua mataku berembun. 

Mengeluarkan genangan air mata yang terasa mulai menumpuk.

Sore itu angin berhembus dengan tenang menerbangkan beberapa helai daun kering yang sudah mati sejak lama. Pohon yang tadinya rindang, sekarang tinggal kerangka saja. 

Gersang. 

Tak ada yang berwana hijau segar, semuanya terlihat semu.

Keheningan tiba-tiba mengerubungi kami. 

Ya. 

Aku dan seorang wanita paruh baya. 

Berdiri sendirian. 

Hanya di temani apron kesayangannya. 

Aku tersenyum ke arahnya. 

Tak terasa tetesan air mata jatuh dari pelupuk mataku. Aku berlari menghampirinya. Buru-buru mendekati wanita yang selama ini aku rindukan. Wanita yang tak pernah absen barang sehari pun untuk menanyakan kabarku. Wanita yang selalu menunggu kepulangan anak satu-satunya. Wanita yang tanpa lelah, menanti kehadiran anak semata wayangnya. Wanita yang tak pernah bosan menunggu balasan pesan dariku.

Wanita yang senantiasa selalu mendoakanku, meskipun aku tak pernah meminta. 

Ya, wanita itu adalah Ibuku.

“Assalamualaikum, Ibu.” Ucapku sedikit terbata. Aku memberinya pelukkan terhangat dan tererat sepanjang masa.

“Wa’alaikumsalam, Nak.” Ibu membalas pelukanku.

Tenang. 

Itulah perasaan yang hinggap. 

Perasaan itu, rasa yang selama ini menghantuiku perlahan lenyap. Kegundahan yang sempat aku rasakan tak lagi membayang-bayangi. Hatiku rasanya benar-benar lega. Beban-beban yang belum sempat tersampaikan menguap begitu saja.

Dalam pelukan, aku menangis. 

Aku tak kuasa membendungnya lagi.

Lama-kelamaan aku semakin mengeratkan pelukanku. Semakin sadar bahwa aku tak pernah benar-benar memeluknya. Yang kutahu, selama ini aku hanya mampu tenggelam dan terus tenggelam ke dalam imaji yang selalu kubuat. Karena aku tahu, sosok itu hanyalah sekumpulan citra yang berusaha kubuat riil. 

Namun pada kenyataannya, bayang-bayang tak pernah berubah menjadi bayangan sungguhan. Hanya kenangan yang membuatnya seolah itu semua nyata.


Farah Mayu, 2018.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments