Photo by Pixabay from Pexels |
Once upon a time ketika aku sedang tidak dalam mode nomaden, lebih dari tujuh hari aku berdiam diri di rumah dalam masa pemulihan, nggak boleh pergi keluar sama sekali oleh ibu apalagi keluar kota, sudah tentu tidak ada kata yes. And she said, "wong masih sakit kok keluar, nanti nularin orang" sambil berkacak pinggang geleng-geleng mendengar permintaan konyolku.
"Ya sudah, nggak jadi kalau begitu. Di rumah terus sampai buluk deh."
Ya nggak lah, sampai sembuh saja cukup. Bercanda.
Akhirnya pagi ini aku diminta ibuku mengantarkan adikku berangkat ke sekolah. Nggak terasa tahunya adikku ini sudah beranjak remaja. Dengan gagahnya berpakaian putih abu-abu sembari menggendong tas punggung hitam peninggalanku. Tas export yang terlihat keren dan mahal pada jamanku. Rasanya seperti menjadi manusia paling keren pada saat itu. "Biar dunia tahu aku punya tas export hahahaha," pikirku saat itu. Yo nek saiki wes lapuk lah.
Ibu bangun dan mulai memasak lebih pagi dari pada sebelumnya. Sebab di masa pandemi semua terasa nggak se-sibuk saat sudah kembali normal. Lebih tepatnya New Normal. Jadi agak sedikit butuh penyesuaian, begitu tuturnya.
"Teh bantuin Ibu masak nih."
"Iya bu, bentar teteh beresin kamar dulu."
Selimut sudah terlipat rapi, bantal dan guling ditaruh pada tempatnya. Kulirik meja belajarku yang meskipun selalu rapi, aku selalu berusaha membereskannya kembali. Memastikan letak laptop lurus sejajar, keyboard dan mouse yang jaraknya pas, sedap dipandang mata dan nggak boleh miring. Botol minum yang isinya tinggal separuh pun langsung kuteguk. Kemudian menaruh satu buku yang semalam setelah dibaca lupa nggak langsung di taruh bersamaan dengan tumpukkan buku lainnya.
Dua hal yang selalu aku pastikan rapi (meskipun yang lainnya juga rapi sih) di bagian kamarku adalah kasur dan juga meja belajar. Berdasarkan artikel serta beberapa jurnal yang telah kubaca, kebersihan dan kerapihan meja belajar serta tempat kita tidur akan sangat mempengaruhi semangat serta produktivitas kita saat hendak berkegiatan.
Contohnya, bayangkan saja jika seorang mahasiswa hendak mengerjakan skripsinya yang belum rampung atau aku yang hendak melanjutkan tulisanku ataupun mereka para freelancer yang hampir kebanyakan menghabiskan waktu di meja tempatnya bekerja, baru saja ingin duduk, diri sudah disuguhkan dengan pemandangan tidak sedap. Meja berantakan, buku bertumpuk nggak karuan sana sini, sisir di sana, dompet di sini. Kabel charger laptop sleweran nggak jelas, kaca mata yang biasa akan digunakan pun wujudnya entah ada di mana. Wes mumet malah tambah mumet. Nggak enakkan?
Lantas, solusinya bagaimana?
Biasanya nih, ya jalan keluarnya memindahkan semua barang yang ada di meja ke atas tempat tidur. Iya kan? Hayo ngaku siapa yang masih suka kayak gitu? Dengan embel-embel pasrah dan perasaan malas membereskannya (yang penting mejanya dulu aja deh) pun membuat kita tanpa berpikir panjang melakukan hal tersebut.
Dengan dalih tak ada waktu lagi untuk bebersih, tumpukkan buku yang tadinya berada di meja kini berpindah ke atas kasur, belum lagi handuk habis mandi nggak langsung dijemur tergeletak sembarangan di atas sprei yang bentuknya sudah nggak karuan, printilan barang-barang kecil yang mengganggu pun segera di masukan ke dalam laci kecil di bawah meja yang mana isi lacinya sudah seperti kapal pecah, super berantakan. SRETT! Ditutuplah pintu laci tersebut, menyembunyikan sejuta kekacawan di dalamnya.
Dari situ pun aku sadar. Ternyata benar, bahwa kerapihan itu sangat berpengaruh terhadap produktivitas kita. Bukankah lebih nyaman jika meja terlihat rapi, kita nggak perlu repot-repot harus menyaksikan kesemrawutannya.
Setelah selesai merapikan kamar, aku pun bergegas ke arah wastafel untuk mencuci tangan dan mencuci muka.
"Mau masak apa bu?"
Sembari mencuci sayuran yang hendak ditumis, ibu menjawab, "Pagi ini kita masak oseng waluh, bikin telur dadar sama goreng ayam tempe tahu untuk sarapan sekaligus bekal adik ke sekolah dan bekal ayah ke kantor."
"Oke."
Long story short semuanya sudah rampung, tinggal aku yang masih siap-siap hendak mengantar adik ke sekolah.
"Teteh." Panggil adikku.
"Apaan?" Timpalku ketus.
"Buruan udah siap belum, ini udah jam setengah tujuh lebih. Teteh yang anter kan?"
"Iya, iya, bentar dulu ini kan lagi siap-siap. Bawel lu." Jawabku dari dalam pintu kamar yang tertutup.
Dalam hitungan menit, kami pun sudah siap dan hendak berangkat.
"Udah salim sama ayah ibu belum?" tanyaku.
"Oh iya belum..hehe. Bentar ya teh," jawabnya yang tak jadi menaiki motor.
Tak lama setelah itu adikku kembali muncul kehadapanku dan kami pun berteriak secara bersamaan, "Ibu, ayah, kita berangkaaaatt!"
Tin-tin, kubunyikan klakson sembari memajukan motor.
Berangkaaaattt...
~Cheerio!
Photo by Medhat Ayad from Pexels |
[From Asiye].........
Asiye went to watch Everywhere All at Once in the theatre with her family last week (it was a disaster, she would not recommend watching it with family, at all), then ended up watching the movie with a beloved person in discord. They did cry for very long and she ended up crying once again after hearing a googly eye reference.
The movie left her quite speechless; she spent hours comparing works of literature to the movie (the Minecraft and poem had her crying, shaking, and throwing up *metaphorically of course*), questioning the meaning of her life and the mundane in everything around her. She spent the next few days questioning the importance of her worries and realising how they are a very very tiny part of the beautiful and terrific cosmos.
however aside from all that hassle my dear friend, the meaning of life might be different for all of us. It could be sticking googly eyes on random places or writing silly letters or hugging our friends! It could also be saving or travelling the world to save the whole cosmos. Whatever our purpose or meaning is, we deserve love and forgiveness.
Remember how the world used to feel on your best days, expansive and bright. That world is still here, and you enable to find your way back to it. - madame clairevoyant
It really all comes down to love (oh god, please let it all come down to love), maybe it's all regarding letting the soft animal of your body love what it loves, as my dear friend Mary Oliver said in her very beloved poem "Wild Geese"; You do not have to be good, you do not have to walk on your knees for a hundred miles through the desert repenting. Let your hands go, you do not have to hold the spring between your hands, let your hands hold another (a tree perhaps). My dear lovely friend, let your heart rest, you do not have to walk with the weight of the world on your chest. (You do not have to be good). Come sit under the shade of a tree with me.
And the universe said, "I love you" because you are love, and you can try again. You can try loving as much as you'd like (because love is all around us) (because we are love and we are loved), because the only hopeful thing there is, is to try. My dear friend, you do not have to stay stuck under the burden of your mistakes, you do not always have to try your best. Ocean Vuong was indeed right, as we are on earth very briefly gorgeous, we can be ugly, and things can get messy. Let it all down and sit under a pretty tree.
My dear dear darling friend, let's live our teeny tiny lives in this cosmos as messily and clumsily we would like, let's allow ourselves to fall down and overflow for the 5th time that day, we do not have to be good, all we need to do is rest and try again, all we can do is to forgive. All we can do is try to be kinder everyday.
by @mrotisky on Twitter |
Asiye still said,
my dearest friends, I send you the warmest hugs and hope you are doing well despite the wind that seems to have caught all of us these days. We are doing well, we shall be well.
Warmly, Asiye.
Here's her poem that I love so much.
~Cheerio
Belajar Stoisisme Dari Sosok Fahri (Pemain Ayat-Ayat Cinta)
Photo by Luriko Yamaguchi from Pexels |
Begini nih kalo kebanyakan nonton film. Udah seneng, nggak bosen-bosen lagi untuk ngulik.
Okay, next.
Siapa sih yang nggak tahu film dwilogi satu ini, yep Ayat-ayat Cinta, salah satu fim yang cukup populer pada jamannya bahkan bisa saja sampai detik ini pun masih banyak digandrungi khalayak. Film ini diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy.
Series singkat atau dwilogi ini terdiri dari film pertamanya yang berjudul Ayat-ayat Cinta 1, dan Ayat-ayat Cinta 2. Dan kali ini saya mau langsung fokus membahas stoisisme yang tanpa sadar sudah diterapkan oleh tokoh Fahri di dalam film kedua yang diperankannya tersebut karena saya menyadari bahwa stoisisme dapat saya rasakan selama saya menonton film tersebut (Film pertamanya juga sih, tapi saya pengen bahas yang kedua aja ah).
Di mana film yang kedua ini merupakan lanjutan dari film sebelumya mengisahkan Fahri yang menghabiskan hidupnya sendiri di Edinburgh, bersama Hulusi asistennya yang berasal dari Turki. Kisah dimulai dengan Fahri yang tidak pernah mendengar kembali kabar Aisha istrinya dan menduga bahwa sosok Aisha telah hilang saat menjadi sukarelawan di jalur Gaza.
Eitsss itu baru permulaanya saja ya. Kita bahkan belum mendengar separuh dari kisahnya. Dari mulai saat itu kesedihan yang terus menghinggapi Fahri tidak membuatnya putus asa, justru ia menyibukkan dirinya sebagai seorang dosen dan juga pengusaha sukses di kota tersebut.
Hmm, do you guys reckon this?
Di sini Fahri sama sekali tidak menyalahkan keadaan, dia tidak menyalahkan istrinya yang menghilang ditengah-tengah konflik gaza, kemudian pencarian yang tidak membuahkan hasil belum lagi dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang menyebalkan. Kalian tahu respon beliau seperti apa? Ketimbang pusing memikirkan semua masalah yang begitu menjengkelkan, Fahri justru fokus kepada hal-hal yang bisa dikendalikannya, persepsinya atau penilaiannya terhadap apa yang sedang dialaminya. Realistis. Dengan penuh kesadaran ia menerima kondisinya bahwa istrinya hilang kemudian ia berusaha mencari istrinya.
Tidak sampai disitu, ia pun tetap melanjutkan kehidupannya dengan baik, memperlakukan semua tetangganya dengan adil dan hormat meskipun ia sering mendapatkan perlakuan tidak enak dari tetangganya. Apa dia membalas hinaan dan cacian yang ia dapatkan? Tidak. Apa dia langsung marah-marah tatkala mengetahui mobilnya sudah dicoret-coret seenaknya oleh tetangganya? Tidak. Dengan rendah hati, ia justru menerima itu semua dan membalasnya dengan perbuatan baik.
Gimana, penasarankan? Udah, daripada kalian kepo, lebih baik kalian coba tonton filmnya atau baca keseluruhan sinopsisnya di sini, especially bagi yang belum pernah atau sekedar ingin menonton kembali filmnya.
Jadi, apa sih Stoic itu? Sebagian pembaca mungkin sudah tidak asing lagi ya dengan filosofi satu ini. Biarkan saya menjelaskannya dengan singkat barangkali ada yang lupa hehe.
Apa itu Stoisisme?
Stoisisme menurut Kamus Oxford adalah daya tahan terhadap rasa sakit atau kesulitan tanpa mengeluh. Stoisisme sendiri merupakan ilmu filsafat Yunani Kuno yang didirikan selama periode Helenistik, periode sejarah Mediterania yang membentang dari 323 SM(setelah kematian Alexander Agung) hingga 31 SM yang menandai penurunan Yunani dari masa jayanya dan munculnya Kekaisaran Romawi.
"In its rightful place, Stoicism is a tool in the pursuit of self-mastery, perseverance and wisdom: something one uses to live a great life, rather than some esoteric field of academic inquiry."
Sedangkan poin utama dari cara hidup stoa merupakan proses yang sedang berlangsung dari mulai mengembangkan pengendalian diri, memberikan penilaian yang jelas, dan mengatasi emosi destruktif/negatif.
Saya setuju dengan pendapat Henry Manampiring(Filosofi Teras), bahwa hal utama yang ditemui selama mempelajari Stoisisme adalah betapa banyak prinsip-prinsipnya yang mirip selayaknya yang diajarkan agama, orang tua, nasihat kakek nenek, hingga budaya asli indonesia itu sendiri. Stoisisme lebih mengutamakan praktik nyata dan manfaatnya dalam hidup ketimbang meributkan dogma dan teks.
1. Hidup Selaras Dengan Alam
Salah satu ajaran utama Stoisisme adalah supaya kita hidup selarah dengan alam (in accordance with nature), artinya kita harus menggunakan akal sehat, nalar yang membedakan kita dengan makhluk lain ciptaan Yang Maha Kuasa. Mengendalikan diri dari mengikuti hawa nafsu serta emosi adalah tindakan nyata atas nilai ini.
Coba kita perhatikan beberapa situasi yang terjadi di dalam scene film Ayat-ayat Cinta 2 di mana mungkin beberapa tokoh kehilangan akal sehat walau hanya sesaat:
- Suatu hari Hulusi (Asisten Fahri) yang setiap pagi selalu menyiapkan dan mengelapi mobil yang biasa ditumpangi Fahri menemukan bahwa ada orang iseng mencoret-coret badan mobil Fahri menggunakan pilok berwarna kuning dengan tulisan (Monsters) yang - menurut kita - sengaja menyinggung perasaan pribadi. Hulusi langsung marah-marah sembari mengumpat, saking kesalnya sampai ingin menghajar si pelaku.
- Di sebuah scene kalau tidak salah ketika Fahri, Hulusi dan Misbah baru saja selesai melaksanakan sholat berjamaah. Hulusi langsung berpikiran buruk ketika Sang Imam mendekati mereka dengan raut wajah masam. Hulusi berpikir bahwa Sang Imam akan memarahi Fahri karena mengoreksi bacaan sholat yang sempat keliru.
- Sekumpulan pria muslim memaki-maki seorang wanita bercadar yang meminta-minta tepat di depan masjid. Pria itu lantas marah karena menurutnya seorang muslim yang mengemis dapat memberikan citra buruk bagi dirinya dan umat muslim.
Di semua contoh situasi tersebut, katakanlah kita atau mereka sedang tidak menggunakan nalar serta hanya mengikuti hawa nafsu saja. Apakah iya tindakan tadi bisa menghasilkan hal baik?
Kembali lagi, yang dimaksud selaras dengan alam di sini artinya, sebisa mungkin, di setiap situasi hidup yang terjadi, kita jangan sampai kehilangan akal sehat kita agar terhindar dari ketidakbahagiaan.
2. Dikotomi Kendali
Salah satu quotes populer yang saya temukan di dalam bukunya Henry adalah quotes yang Ia peroleh dari seorang filsuf. Saya yakin kalian sudah tidak asing dengan nama ini.
"Some things are up to us, some things are not up to us." - Epictetus (Enchiridion)
"Ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak berada di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita."
So, di dunia ini sudah jelas bahwa ada pembagian jelas antara yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Hal-hal yang bisa kita kendalikan adalah motivasi, usaha, dan opini. Sedangkan hal-hal yang berada di luar kendali kita adalah kekayaan, opini, perilaku orang lain, kesehatan, dsb
"Aisha masih belum bisa ditemukan," kira-kira begitulah pesan singkat yang bisa Fahri berikan ketika Misbah bertanya tentang keberadaan Aisha, istri Fahri. Fahri sudah mengerahkan segala upaya untuk mencari keberadaan Aisha yang belum diketahuinya. Sebelum berangkat baik Aisha dan Fahri sudah memastikan bahwa keberangkatan Aisha ke negara Palestina akan aman, semua sudah dipersiapkan dengan matang. Aisha datang ke sana bukan semata-mata hanya berkunjung melainkan menjadi seorang relawan. Tentunya saat mendengar kabar pemboman terjadi di tempat Aisha bertugas, Fahri sangat takut dan khawatir dengan keadaan istrinya. Belum lagi tiba-tiba sambungan telfon antara dirinya dengan Aisha tiba-tiba terputus. Di situlah momen terakhir Fahri mendengar suara Aisha. Fahri terpuruk sekali. Setelah mendengar itu semua, mungkin sebagian dari kita jika berada di dalam posisi Fahri akan memikirkan segala pertanyaan yang mengganggu, "Di mana kesalahanku ya?; Apakah persiapannya selama ini kurang baik? Apakah kebaikanku selama ini kurang di mata Tuhan?; dan seterusnya. Pada akhirnya justru jika kita serperti itu maka kita harus menegur diri sendiri untuk segera berhenti. Bagaimana dengan Fahri sendiri? Fhari tentunya langsung mengevaluasi diri, dan berhenti berlarut-larut dalam kesedihan sampai menyesalinya secara berlebihan. Terjadi pemboman di tempat Aisha bertugas itu berada di luar kendali Fahri. Pencarian yang telah dilakukan Fahri pun berada di luar kendalinya. Fahri memang bisa berusaha sebaik-baiknya dalam persiapan pemberangkatan Aisha atau pencarian Aisha, tetapi hasil akhir sepenuhnya sudah di luar kendalinya. Fahri ikhlas dengan ujian hidup yang dia alami yang kemudian justru membuatnya bisa lebih tenang. Seperti pepatah,
"Manusia yang berusaha, dan Tuhan yang menentukan hasilnya."
Dalam bukunya, Henry menyebutkan bahwa, masih ada hari esok yang masih harus diperjuangkan. Begitu pun dengan Fahri, ia tetap menjalani kehidupannya seperti biasa kembali.
TIDAK di bawah kendali kita:
- Tindakan orang lain.
- Opini orang lain
- Reputasi/Popularitas kita.
- Kesehatan kita.
- Kekayaan kita.
- Kondisi saat kita lahir, seperti jenis kelamin, orang tua, saudara-saudari, etnis/suku, kebangsaan, warna kulit, dan lain-lain.
- Cuaca, gempa bumi, wabah penyakit, peristiwa alam lainnya.
DI BAWAH kendali kita:
- Pertimbangan (judgement), opini, atau persepsi kita.
- Keinginan kita.
- Tujuan kita.
- Segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri.
Tidak hanya itu, Epictetus menjelaskan dalam buku Enchiridion,
"Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat; tetapi hal-hal yang tidak dibawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat dan milik orang lain. Karenanya, ingatlah, jika kamu salah mengira hal-hal yang bahgaikan budak sebagai bebas, dan hal-hal yang merupakan milik orang lain sebagai milikmu sendiri... maka kamu akan meratap, dan kamu akan selalu menyalahkan para dewa dan manusia."
Sederhananya, kalau lo terobsesi dengan hal-hal diluar kendali lo, seperti perbuatan /opini orang lain, popularitas, kekayaan kita dan kesehatan kita, maka siap-siap kecewa cuy.
Stoisisme mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari hal-hal yang berada di bawah kendali kita. Dengan kata lain, kebahagiaan sejati hanya datang dari dalam.
3. Kendalikan Persepsi
Sadarkah kita bahwa sumber sebenar-benarnya dari segala perasaan negatif seperti keresahan dan kekhawatiran kita itu berasal dari dalam pikiran kita sendiri, bukan dari hal-hal di luar kita. Contoh situasi yang Fahri alami diantaranya:
- Mobil dicoret-coret orang
- Salah satu mahasiswanya ada yang menganggap dirinya rasis
- Sekelompok Jewis langsung mengusir keberadaan Hulusi, Fahri, dan Misbah yang padahal dengan niat baik mengantarkan nenek Katarina ke tempat peribadatannya
- Kedatangan sepupunya Aisha yang mendadak
- Salah satu tokonya tercuri
- Istrinya masih belum ditemukan
- Dibenci oleh tetangganya sendiri
- Dianggap pembunuh
Namun di sini, baiknya, sosok Fahri tidak menganggap apa yang terjadi di dalam kehidupannya itu hal buruk. Ia tak pernah repot-repot berburuk sangka kepada orang lain. Pikiran-pikiran buruk seperti,
- "Kenapa Tuhan tega membuat istriku hilang?"
- "Sialan, saya disangka pembunuh. Kurang ajar!"
- "Kenapa harus toko saya sih yang kecurian?"
- "Saya kena karma apa ya sampai apes seperti ini?"
- "Hidup saya selalu sial, dikelilingi tetangga nggak tahu diri, mahasiswa aneh, dsb."
Selama ini apapun yang ia lakukan merupakan hal baik dan tulus. Ia tak pernah pilih-pilih dalam berbuat baik. Bahkan nenek Katarina, salah satu tetangganya begitu membenci Fahri karena menurutnya seorang muslim adalah pembunuh dan orang-orang jahat. Ia bahkan sempat menuduh Fahri dan Hulusi telah melakukan hal bejat kepada Brenda. Meski demikian, dengan tulus Fahri justru mengabaikan hal tersebut dan menawarkan tumpangan kepada nenek Katerina. Sebab Fahri ikhlas menerima bahwa ini merupakan ujian kesabaran untuknya.
4. Jangan menyalahkan diri sendiri
Seringkali jika kita mengalami suatu musibah, ujian atau ketidakberuntungan, kita menyalahkan diri sendiri. Stoisisme mengajarkan kita berhenti berpikir hal tersebut dan coba untuk mengendalikan persepsi kita terhadap suatu kejadian. Seperti yang dilakukan Fahri dalam menyikapi semua ujian yang melanda hidupnya.
Fahri menyadari bahwa apa yang ia alami adalah sesuatu yang di luar kendali sehingga tidak perlu merasa sedih berlarut-larut karenanya dan bahwa kejadian itu merupakan kehendak alam karena segala hal di dunia saling berhubungan satu sama lain. Sama seperti yang diajarkan stoisisme, Fahri tidak pasrah begitu saja dan tidak menyalahkan orang lain.
Recalling that,
"There's nothing either good or bad, but thinking makes it so." - William Shakespeare
Stoisisme mengajarkan kita untuk menginterpretasi peristiwa negatif sebagai ujian, kesempatan untuk menjadi lebih baik. Begitu pula yang dilakukan oleh Fahri. Sebelum ia menemukan semua kebahagiaannya kembali, ia sempat kehilangan istrinya dan ditinggalkan orang-orang terkasihnya. Sebelum ia berhasil menjadi dosen yang pintar dan terkenal, ia dituduh dan harus menjalani hukuman penjara yang bahkan bukan kesalahannya sendiri(potongan scene di film pertamanya).
"Constant misfortune brings this one blessing. Those whom it always assails, it eventually fortifies." - Seneca
Di balik setiap musibah yang terjadi di hidup kita, senantiasa selalu ada kesempatan kita menjadi seseorang yang lebih kuat.
Gimana?
Sudahkah menerapkan stoisisme?
Bagaimana rasanya sejauh ini?
Perubahan apa saja yang sudah dirasakan? Komen di bawah sini ya.
~Cheerio
------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Epictetus. 2017. The Enchiridion. Independently published
https://dailystoic.com/stoicism-five-lessons/, diakses pada 15 juli 2022
https://www.idntimes.com/science/discovery/deny-hung/5-pelajaran-penting-stoisisme-c1c2?page=all, diakses pada 20 Agustus 2022
Manampiring, Henry. 2019. Filosofi teras : filsafat Yunani-Romawi kuno untuk mental tangguh masa kini. Jakarta : Kompas.
Marcus Aurelius. 2018. Meditations. New York: East Indian Publishing Company
Seneca. 1969. Letters from a Stoic. London: Penguin Books.
Sebelum memulai, alangkah baiknya teman-teman bisa menyalakan video di bawah ini ya. Instrumen ini cocok sekali untuk uplifting mood kalian karena kebetulan instrumen inilah yang seringkali menemani hari-hariku, khususnya tiap kali aku sedang menulis. Supaya suasana hati kalian jadi lebih seru gituuu hehe.
Pagi ini pukul delapan tiga puluh, tepatnya pada tanggal dua puluh tiga juli aku memasak bubur yang enaaaakk sekali rasanya. Eh, rasa bubur buatanku selalu enak deh, hampir tidak pernah gagal, kalau tidak salah ya. Semuanya sudah terbukti oleh lidah-lidah orang rumah hehe.
Sebetulnya ini kali pertama bagiku untuk kembali memasak bubur. Rasanya sudah lama sekali tidak pernah bereksperimen dengan bahan-bahan dapur khususnya saat membuat bubur.
Alasanku memutuskan untuk membuat bubur adalah karena hari ini aku sedang sakit, alhamdulillah tidak terlalu parah, inshaAllah masih baik-baik saja hanya sedikit kelelahan karena di hari-hari sebelumnya hampir sering sekali pergi keluar kota bolak-balik terus menerus. Mau bagaimana lagi, selagi masih diberikan kemampuan yang cukup, kita harus bisa mandirilah pergi ke sana kemari sendiri karena sudah menjadi tanggung jawab sendiri, meskipun pada akhirnya tumbang juga wkwk. Tapi, tenang saja, untungnya ini adalah hari ketigaku, dan aku sudah berobat ke dokter. Kata dokter ini memang hanya kelelahan saja, kebanyakan bepergian jadi kebanyakan angin yang masuk.. engga deh kalau yang itu bercanda.
Sebetulnya memasak bubur itu biasanya dilakukan ketika dalam kondisi khusus, contohnya ada yang jatuh sakit, namun bukan berarti hanya boleh ketika sakit, kapanpun kita mau juga boleh kok. Hanya saja, seringkali tatkala kita sedang sakit, rasanya mau makan ini itu tidak berselera, tidak enak, lebih baik kuracik bumbu versiku sendiri dan jadilan bubur!
Untuk kali ini bahan-bahan yang aku gunakan untuk membuat bubur cukup sederhana, ya sebenarnya selalu sederhana sih, menggunakan bahan-bahan yang ada di dapur. Barangkali dari kalian ada yang ingin mencoba memasaknya, berikut bahan-bahan yang harus disiapkan untuk membuat bubur:
Ingredients
- 2 gelas beras putih/ 500ml beras (mon maaf ini porsi banyak ya bund, silakan bisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing)
- 3 siung bawang putih
- 1 sdm mentega/ minyak secukupnya
- 1 batang daun bawang
- 1 atau 2 buah tomat
- 1 telur ayam (mau telur dinosaurus juga boleh kalau ada wkwk)
- Garam secukupnya
- Kaldu jamur/kaldu ayam secukupnya
- Lada bubuk secukupnya
- Air yang sangat banyak (namanya juga bikin bubur)
Hmmm apalagi ya? kayaknya udah deh. Next kita ke step by step dalam membuat bubuuul.
Method
- Potong kecil-kecil bawang putih, dan daun bawang
- Potong tomat menjadi empat atau enam bagian (sok itu mah suka-suka sendiri)
- Tumis bawang putih yang sudah dipotong kecil-kecil bersamaan dengan mentega dengan menggunakan api kecil sampai wangi
- Masukan beras yang sudah dicuci ke dalam panci
- Saute selama beberapa menit baru kemudian tambahkan air yang banyak
- Tunggu hingga air mulai menyusut dan terlihat blubuk-blubuk ( kurang lebih sekitar 45 menit di api kecil ya, supaya tidak gosong bagian bawah buburnya)
- Jika ternyata masih kurang melebur, maka kita tambahkan air matang secukupnya hingga tekstur nasi berubah
- Masukan garam, lada bubuk dan kaldu ayam sesuai kebutuhan
- Masukan daun bawang dan tomat yang sudah diiris-iris, biarkan hingga 5 menit
- Masukan 1 butih telur dan aduk / kalian bisa masukan 1 butih telur utuh tanpa diaduk (optional ya)
- Masak hingga nasi berubah menjadi tekstur bubur sesuai dengan keinginan kalian
- Jika dirasa sudah cukup, maka matikan kompor dan sajikan!
Bagaimana, easy peasy lemon squeezy kaaan? Monggoh silakan bisa teman-teman coba di rumah masing-masing, jangan di rumah tetangga ya, nanti dimarahin hehe...
Maaf ya, aku lupa nggak sempat foto hasil jadinya. Sudah keburu diaduk dan habis dimakan nih karena saking menggiurkannya hehe.
Mau tahu nggak kenapa judulnya Roh Bubur Jahat?
Coba deh kalian lihat foto ini...
Kalian bisa lihat kan ada kepulan asap putih yang dikeluarkan oleh si bubur. Iya, rasanya itu terlihat seperti roh-roh jahat yang baru saja keluar dari bubur yang baru saja matang. Benar-benar panas sekali. Kalau saja kalian melihatnya secara langsung, aku rasa kalian pun akan berpikiran sama. Kepulan asap yang terus menerus dikeluarkannya terlihat seperti serbuan roh jahat yang tiada habisnya. Tebal sekali. Pantas saja banyak asapnya, kan makanannya baru saja diambil dari panci yang super panas.
Aku yakin, jika langsung kulahap bubur panas itu, sudah pasti mulutku rasanya seperti terbakar. Mungkin sudah mati rasa. Tolong hati-hati, makanan panas tidak bagus jika langsung masuk ke dalam mulut kita, nanti lidahnya bisa berwarna hitam dan lidahnya akan terasa aneh. Lebih baik tunggu hingga temperatur makananmu sudah turun ya.
Untuk kali ini entah kenapa aku ingin sekali membagikan, rasanya lucu. Nggak melulu yang dibagikan harus yang serius kali ya, seru-seruan dikit biar nggak spaneng haha.
Have a great weekend fellas~
Jangan lupa bahagia. Oiya, kalau kalian coba memasak ini atau memasak versi bubur kalian jangan sungkan sharing-sharing ya. Kutunggu...
Gimana, siap bereksperimen dengan weekendmu?
Cheerio!
Ketika dunia berlomba-lomba dalam kecepatan, slow living atau filosofi kehidupan yang lambat bisa menjadi sebuah solusi.
Mari kita bedah secara sederhana apa itu Slow Living.
Aku tahu, kalian pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah ini, sudah banyak informasi yang kalian dapatkan melalui platfrom media sosial. Dengan sedikit berbekal ilmu yang kumiliki, aku ingin menyampaikan apa itu Slow Living menurut versiku sendiri.
Slow Living adalah gerakan di mana seseorang memutuskan untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan bermakna dengan memperlambat segalanya dan lebih menghargai dunia sekitar mereka dan apa yang mereka miliki.
Beberapa orang mendefinisikan Slow Living sebagai sekedar meluangkan lebih banyak waktu untuk perawatan diri. Yang lain mendefinisikannya lagi sebagai sebuah langkah menjauh dari tujuan 'tradisional' – seperti pekerjaan penuh waktu (full time job) atau mainstream schooling – dalam mengejar gaya hidup yang lebih lambat.
Namun, sebagiannya lagi justru memilih untuk mendefinisikan Slow Living sebagai hal yang memiliki beberapa prinsip inti yang mengikatnya secara bersamaan. Misalnya, bernafas, merawat diri, dan memprioritaskan suatu hubungan.
Sebetulnya, tidak selalu mudah untuk memperlambat atau memencet "tombol jeda" pada sebuah komitmen yang telah dibangun, tetapi menerapkan beberapa prinsip Slow Living sepanjang kehidupan sehari-hari kita, dapat membantu kita merasa lebih tenang, terutama ketika dunia terasa begitu kacau balau.
Iya kan?
Coba ambil nafas dalam-dalam, sekarang saatnya untuk mengambil waktu sejenak dan benar-benar mencoba belajar merangkul dirimu, apa yang kamu mau dengan menerapkan gaya hidup Slow Living.
Ada beberapa prinsip sederhana yang bisa kita praktikan dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin bisa jadi cocok untuk kita.
Pertama. Cobalah ambil nafas dalam-dalam.
Terlihat sederhana, bukan? Iya sih– tapi seringkali terlalu mudah untuk dilupakan. Padahal tarik nafas dalam-dalam merupakan cara yang paling baik untuk menenangkan diri kita (dan yang paling penting, gratis!). Supaya bisa mendatangkan lebih banyak penyadaran dalam kehidupan sehari-hari. Bahwasannya banyak kebahagiaan yang bisa kita raih dari sebuah kesederhanaan.
Bernafas perlahan-lahan secara sadar dapat membantu kita agar lebih merasa terhubung dengan perasaan akan merasa syukur pada momen saat ini or focus on the present time.
Rangkullah Kesederhaan.
Salah satu filosofi utama dari Slow Living movement adalah ide dari kesukarelaan dalam kesederhanaan, di mana kita dapat memilih untuk menghilangkan beban dari kehidupan kita untuk dapat menikmati lebih banyak hal lagi.
Nah, ini bisa berupa kegiatan yang menyenangkan seperti decluttering barang-barang sendiri atau decluttering rumah ala Marie Kondo, di mana kita menyingkirkan barang-barang yang tidak lagi 'memicu kebahagiaan'. Rumahku istanaku. Rumah adalah tempat kita tinggal, tempat di mana seharusnya terasa menyenangkan. Jadi saat kita menyingkirkan berbagai kekacauan atau hal-hal yang bikin sumpek justru memudahkan kita agar bisa menciptakan tempat yang lebih hangat, dan ramah untuk dinikmati setiap hari.
Rumah bisa tampak lebih nyaman meskipun terlihat begitu sederhana. Karena kemewahan yang berlebihan serta kesemrawutan hanya akan membuat kita tidak nyaman dan cenderung merasa jengah.
Nikmatilah setiap makananmu dengan perlahan.
Sebelumnya tak pernah terpikirkan untuk benar-benar menikmati makanan dengan perlahan. Yang kutahu, jika makanan itu enak, rasa-rasanya ingin sekali cepat-cepat dihabiskan. Ya kan? Awalnya aku pun begitu hingga akhirnya gaya hidup Slow Living memberikan pandangan yang justru berbanding terbalik.
Menikmati setiap hidangan dengan perlahan merupakan cara yang bagus untuk merasakan Slow Living. Bahkan tidak hanya itu, memasak dengan perlahan juga termasuk dari bagiannya.
Cobalah makan dengan perlahan dan hargai setiap makanan tersebut–rasakan setiap bumbu-bumbu yang ada di dalamnya serta buatlah dirimu betul-betul merasakan tekstur, rasa dan bau dari makanan yang sedang kamu nikmati.
Ini tidak hanya akan membantumu lebih menikmati makanan, namun juga merupakan salah satu cara terbaik untuk melatih 'kefokusan'mu.
Luangkan waktu untuk diri sendiri.
Meskipun tidak selalu mudah untuk mengulur waktu dari target kita, menurutku tetap penting untuk kita mampu memiliki waktu sendirian yang di mana kita fokus hanya untuk kenyamanan diri sendiri. Berdasarkan pengalamanku, waktu menyendiri itu justru baik untuk pikiran sendiri. Relaksasi diri, evaluasi diri dan tanyakan pada diri apa mau nya? Bagaimana kabarnya? Apakah dirimu sendiri sedang dalam kondisi baik atau tidak baik-baik saja? Sebab hanya dirimulah yang betul-betul paham kondisimu saat ini, bukan orang lain.
Bukan hanya itu, saat kita memiliki waktu menyendiri itu juga memungkin kita bisa menyegarkan pikiran dan memberi kita waktu serta peluang untuk mengerjakan proyek-proyek dan tujuan dirimu sendiri. Aku yakin, tiap dari diri kalian pasti memiliki cita-cita yang selalu ingin dilakukan jikalau memiliki waktu luang.
Lakukan detoksifikasi digital.
Sebetulnya tema yang berulang di semua prinsip Slow Living adalah menghabiskan lebih sedikit waktu dalam penggunaan perangkat digital–baik itu handphone, atau gadget lainnya.
Melakukan detoksifikasi digital secara teratur seringkali memaksa kita untuk menikmati setiap momen yang terjadi pada saat itu–alih-alih scrolling Tiktok atau Instagram terus menerus atau menonton berbagai Drama Korea, kita justru bisa beristirahat sejenak dengan tidur siang atau menikmati pemandangan langit cerah siang itu sembari ditemani minuman kesukaanmu.
Oke. Jika kita mengambil satu saja inti dari Slow Living movement, itu adalah...
"Memutuskan untuk menyambungkan kembali"
Yang mana hal tersebut itu berkaitan dengan alam, dirimu sendiri, dan lingkungan sekitarmu–sesering mungkin.
Perlahan-lahan, percaya atau tidak, dirimu beserta pikiran dan kesehatan jiwamu pasti akan jauh merasa lebih tenang.
Cheerio~
Semua yang tinggal pasti akan pulang.
Semua yang singgah pasti akan berpindah.
Semua yang bersama kelak akan berpisah.
Perpisahan mengantarkan kita pada sebuah kelana lembaran kisah baru.
Putih, bersih, tak begurat, dan tak retak.
Belum.
Sebab masih mencari-cari kemana langkah harus segera mengambil arah, entah itu menuju setapak laju yang tabirnya pun masih tak karuan wujud dan rasanya.
Pertemanan tercipta begitu murni layaknya guratan kecil di permukaan pasir pantai yang lambat laun curahan air hujan mengalir menuju sang empu penampung. Lautan. Alami tanpa sentuhan tangan manusia.
Dalam kelana asa tak berupa, tak berujung, dan tak karuan ini, orang datang dan pergi silih berganti. Dalam kelana pena pertama, orang baru hadir, cerita baru tertuang, memori baru terbentuk oleh gumpalan interakti tanpa jeda antara kita. Begitu seterusnya.
Yang indah tentu takkan pernah terenyah, yang buruk pun belum tentu tak baik untuk diri. Hikmah selalu ada pada setiap cerita, pada setiap manusia, pada setiap sengatan kecil kerinduan akan sosoknya, akan sosok mereka.
Tak bisa dipungkiri, Puan pernah bilang bahwa katanya,
"Hidup itu adil, bahkan sangat adil."
Lagi, jangan hanya melihat dari sebuah stetoskop mungil milikmu. Telaahlah, dan telitilah dari berbagai sudut. Sudut yang bahkan sebelumnya tak pernah kita perhatikan.
Hidup itu lucu, lucu sekali. Tatkala diri begitu menghindari suatu hal, justru Tuhan hadirkan di dalam hidup. Ya, cinta. Itu adalah hal yang selalu diri hindari sejak dahulu, sebab rasa takut selalu menghantui.
Sesederhana kata takut namun menghancurkan masa yang ada. Takut sekali jika hidup bisa hancur, berserakan, akibat pikiran kalut dan rasa takut yang menghantui diri akan imaji yang sosoknya pun bahkan seperti hantu. Tak ada. Tak berwujud. Namun begitu terasa.
Tak pernah meminta apa yang tak diharap walau nyatanya seringkali yang berusaha dihindari disuguhkan tepat depan diri yang sudah jelas tak ada pertahanan dalam bentuk kuda-kuda mantap. Tak pernah.
Ahhh... jadi teringat salah satu kalimat dari the next kandidat buku favoritku, The Alchemist karya Paulo Coelho.
"Hidup ini adalah saat yang kita jalani sekarang ini" - Paulo Coelho (The Alchemist)
Namanya juga hidup.
Serunya, letak ketidaksempurnaan manusia adalah ketidaktahuan dan ketidakberdayaannya yang berkelana tanpa jeda, mampu mengantarkan kita kepada titik penyadaran dimana sesungguhnya hanya Dialah yang bisa diajak berdiskusi asyik di tengah sunyinya malam. Mengembarakan asa dan harap, melangitkan rasa serta merapalkan mantra sakti berupa doa sembari menitikkan - yang katanya air mata tapi justru lebih dari itu - sebuah bukti kejujuran hati dan ketulusan jiwa.
Semua perjalanan yang tak singkat ini takkan pernah terjadi tanpa campur tangan Sang Pencipta. Aku ucapkan syukur dan terima kasih sebesar-besarnya juga kepada kedua orang tua yang selalu mendukungku dari berbagai sisi dan aspek. I love you to the galaxy and never coming back, my beloved mom and dad.
Ya, merekalah orang tua. Sosok yang selalu berada di sisiku bahkan sebelum diriku lahir menjadi sesosok gadis mungil dalam buaian.
Banyak yang mengira bahwa keputusan mereka itu sangat mengganggu. Bila ada kesempatan menyeruak, rasanya terlalu mengolok dalam ketidakberdayaan, tetapi nyatanya mereka belajar dan memperhatikan. Yang awalnya begitu menakutkan untuk berdiskusi dan bercerita, kini menjadi tempat pertama untuk bersandar, tepat setelah Dia. Namun akan selalu menjadi tempat pertama untuk pulang, karena sebenar-benarnya rumah di dunia ini ya mereka, sebelum nantinya, dikembalikan lagi kepada Sang Pemilik.
Aneh ya, manusia itu suka sekali pertemuan, apalagi di awal waktu. Mereka tak pernah meragukan hal tersebut. Kenangan akan indahnya kebersamaan selalu menjadi hal yang menyenangkan untuk diingat. Begitu pula memori asam akan kepahitan, yang kalau disuruh memilih lebih baik tidak merasa.
Aku jadi teringat kembali salah satu quotes andalan yang aku ambil dari salah satu buku favoritku sepanjang masa (kayaknya), yang berjudul "Tentang Kamu" karya Tere Liye. Tentang temu dan pisah, yang katanya,
"Terima kasih. Nasihat lama itu benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi."
Aku tahu betul bahwa di dalam setiap pertemuan sudah jelas ada perpisahan. Dan perpisahan tidak selamanya melulu tentang kepergian dua atau lebih jiwa. Yang berpisah itu jarak, keberadaan bisa dihadirkan dengan cinta. Justru, itulah salah satu seni dalam kehidupan. OlehNya, kita dipertemukan, saling bercengkrama hingga batas waktu yang telah ditentukan. Bagaimanapun juga, lebih banyak yang bisa disyukuri ketimbang dieluhkan, lebih banyak manisnya ketimbang pahitnya, lebih banyak senangnya ketimbang sedihnya. Karena hidup itu lucu, maka tertawakanlah.
Manusia beranjak dari satu titik ke titik lainnya. Datang ke stasiun satu untuk sampai di stasiun lainnya. Berkunjung ke satu terminal hendak berangkat ke terminal lainnya.
Ya...
Hakikatnya, manusia itu pengembara. Manusia itu perlu berkelana agar tahu bagaimana rasanya melewati rentang waktu di dalam setiap masa. Manusia perlu bertanya-tanya agar mereka bisa tetap waras.
Iya, lagi-lagi aku kembali diingatkan oleh salah quotes yang sering dilontarkan oleh temanku, Kak Fitria a.k.a. duchess klaten. Beliaulah yang selalu mengingatanku tentang masa dan manusia.
Tentang temu dan pisah.
Pertemuan kita waktu itu memang sesaat, rasanya hitungan menit pun tidak, karena saking asyiknya bercengkrama, bersenda gurau namun juga belajar sambil berjalan. Seru sekali. Oleh karenanya tak bisa aku bersedih atas perpisahan kita, rasa syukur selalu kupanjatkan sambil tersenyum.
Untuk kalian yang sudah hadir di dalam hidupku. Untuk kalian yang pernah hadir di dalam hidupku. Untuk kalian yang hanya singgah kemudian pergi dari hidupku. Untuk kalian yang akhirnya memutuskan untuk tinggal di dalam hidupku dan bersemayam di dalam hatiku, aku ucapkan terima kasih banyak. Kalian sudah dan terus akan mewarnai lika-liku panjangnya perjalanan hidupku yang justru katanya malah singkat ini.
"Rentang waktu manusia tinggal di bumi memang singkat, yang membuatnya panjang itu bukan jumlah banyak durasinya, tapi makna yang tersimpan di setiap jengkal ceritanya, dan bukan pula tentang banyak atau sedikitnya waktu yang dimiliki, tapi apa yang kita isi dari waktu itu sendiri."
Sekian dan terima kasih sudah menyempatkan waktu luangmu untuk membaca tulisan ini.
Have a great day fellas.
~Cheerio!
Once upon a time, while doing laundry at the midday, I thought about something that related to what recently I had been doing...
Nothing.
Right, you've heard that, I feel like I have been doing nothing and it is also leading me to another question.
I have been thinking that is it possible to get better but with less effort? or can we achieve something by not doing?
For some reason, yes it is.
Let's have a quick glance here.
Have you ever tried petting a cat, but every time you come closer, the cat runs away and keeps watching you from a distance? Then, you walk towards the cat in a second attempt, but it runs away again. When you approach the cat the third time, it flees and disappears. However, a few hours later when you've focused your attention on something else, the cat appears, walks toward you and jumps onto your lap.
A phenomenon we often experience is that,
When we chase something or someone, it moves away from us. But when we leave it alone, it comes to us.
This mechanism can be hard to reconcile with the idea that 'effort' is the key to success. Even though it's true that achieving goals often requires work, there's also another side to the story.
The law of reversed effort shows us that in many situations, putting in words only removes us further from the desired outcome. And that the more we try, the worse it gets. But the less we try, the better it gets.
Hence, achieving goals doesn't just require work; we also must abstain from action. And to know when to act and when not to, we need intelligence and skill.
Previously I explored a dimension of the law of reversed effort (also called 'the backwards law'). But this exploration was from the point of pursuing happiness, as stated by bestselling author Mark Manson:
"Wanting a positive experience is a negative experience; accepting a negative experience is a positive experience."
So, the more we want happiness, the less happy we'll be, as we're reinforcing a sense of lack. And that if we're content with how things are (and not in a state of lack), we suddenly have what we're looking for. But here, we will explore the law of reversed effort from the viewpoint of performance, achieving goals, and overcoming fears.
The law of reversed effort was once coined by English Writer and Philosopher Aldous Huxley, who stated that
"We only achieve proficiency by combining relaxation with activity."
"The harder we try with the conscious will to do something, the less we shall succeed. Proficiency and the results of proficiency come only to those who have learned the paradoxical art of doing and not doing, or combining relaxation with activity. We cannot make ourselves understand; the most we can do is to foster a state of mind, in which understanding may come to us."
Imagine an insomniac trying to sleep. The more he tries, the longer he seems to stay awake. And the longer he stays awake, the more frustrated he becomes and the harder he tries. But after a while, the insomniac stops trying, accepting that he can't sleep. And suddenly, without any effort, he dozes off.
Sleep is one of those many things we cannot force. Yet, we often try hard to fall asleep with horrible results. When we look a the nature of sleep, this isn't much of a surprise. We can see sleep as the ultimate form of relaxation. Thus, trying to sleep is pretty contradicting, as we make an effort (or even force ourselves) to relax, which is the opposite of relaxation.
Another thing that we cannot force is attraction.
No one chooses to be attracted to someone or something; it just happens. Even though this is a generalization, by and large, we see that clinginess repels, and elusiveness attracts.
The more we chase someone, the less attractive we become. But if we stop chasing, we become more elusive, and the attraction may return.
as the proverb goes:
"Absence makes the heart grow fonder."
Trying too hard often backfires. Philosopher and psychiatrist Viktor Frankl observed that when we focus too much on achieving specific outcomes (preventing others), we generate "anticipatory anxiety." In many cases, this hyper-intention leads to the situation we try to avoid. An example from his book Man's Search For Meaning is a stuttered who desperately tries not to stutter. But because he tries too hard, his speech falters even more as he's anxious not to speak without stammering. And so, it's with many things.
If we try too hard to enjoy our lives, we're probably not enjoying it because we're so fixated on results that the fixation itself is unpleasant.
Again, hyper-fixation on specific outcomes hijacks one's ability to perform. Viktor Frankl provides us with a practical method called 'paradoxical intention'. This method can help us relieve ourselves of hyper-intention or, in other words: not try so hard.
By applying paradoxical intention, we shift the paradigm from avoiding specific outcomes (like stuttering or not being able to sleep) to wanting these outcomes. By wishing for things we previously tried to prevent from happening, we're less likely to become petrified by anxiety, as we remove the pressure of wanting results. So, we're more likely to fall asleep by wishing to stay awake than by trying hard.
Learning to drive a car can be an immensely frustrating experience. It takes many lessons and many hours to master for most people. For an inexperienced person, controlling a vehicle (while watching traffic) is a very unnatural and complicated task. Unless you drive an automatic, you have to step on three different pedals to accelerate, slow down, switch gears, and you must learn to use mirrors to observe what's happening around the car.
It seems almost impossible to master. However, after lots of practice, you suddenly catch yourself automatically doing these things. Our conscious mind is a gift and a curse. It allows us to reason, analyse, and use language. However, the conscious mind often sits in the way of what the Taoists call 'wu-Wei,' also referred to as the flow state.
In the flow state, our actions are fluent and effortless, as if they happen by themselves: as if the dancer becomes the dance or the painter becomes the painting.
The Philosophy of Flow quotes retired basketball player Bill Russell, describing the flow state as "playing in slow motion" and that he "could almost sense how the next play would develop and where the next shot would be taken." Any conscious effort in addition to the flow state causes us to hesitate. That's why the moment we become consciously aware that we're in such a state, and we begin intellectualising and trying to control it; we lose it. And so, many of our actions seem to emerge from beyond our conscious minds.
The Swiss Psychiatrist Carl Jung realised that our conscious mind is just a tiny part of the psyche.
We could compare the conscious mind to the tip of the iceberg, while the unconscious is the major part of the iceberg that lies underwater, invisible to those above the surface. Hence, according to Jung, the psyche generates many unconscious processes that the conscious mind isn't aware of.
Similarly, Aldous Huxley distinguished between consciousness and the personal conscious, saying that a relaxed personal conscious is required to let the "wider self" come through.
Let's say, the personal conscious is a kind of small island in the midst of an enormous area of consciousness — what has to be relaxed is the personal self. The self that tries too hard, that thinks it knows what is what. This has to be relaxed in order that the multiple powers at work within the deeper and wider self may come through and function as they should.
In all psychophysical skills, we have this curious fact of the law of reversed effort: the harder we try, the worse we do the thing.
The more we try, the worse it gets. The more we chase the people we desire, the more they run from us. The harder we try to sell something, the fewer sales we tend to make. But if we don't act at all, we won't see any results either. So, we're looking for a middle path between action and non-action, between conscious effort and letting action occur. On the one hand, the conscious effort seems necessary to develop our skills: we need to practice, learn, think, understand and analyse.
On the other hand, the absence of conscious effort and intellectual activity seems necessary for letting the developed skills emerge naturally. we have to calm the mind and "get out of our own way," so to speak, to perform optimally.
As Aldous Huxley wrote:
"Take the piano teacher, for example. He always says, relax, relax. But how can you relax while your fingers are rushing over the keys? Yet they have to relax. The singing teacher and the golf pro say exactly the same thing. And in the realm of spiritual exercises, we find that the person who teaches mental prayer does too. We have somehow to combine relaxation with activity."
The flow state appears to accompany mental clarity and equanimity, according to the accounts of people who experienced it. When athletes, musicians, singers, Formula 1 drivers, and martial artists experience "being in the zone," they don't ruminate, worry, analyse, intellectualize, or think about their next step: they just flow along with the natural course, as if they're the course itself.
So, paradoxically, optimal performance requires us to relax, stop trying, and let our activities emerge and happen automatically. Or, as Lao Tzu stated:
"Can you remain tranquil until right action occurs by itself?"
They call it The Backwards Law or The Law of Reverse Efforts, there are several things that just require time to work themselves out, mostly clarity only comes when things are assured or definite or maybe we just need to put up a more calm state of mind to allow us to see the way out that occurs in a hectic mind.
"When your mind is still the universe surrenders" - Lau Tzu
Look it as an example. The gardener knows that no amount of force can make a plant grow. All one can do is provide the elements contributing to growth and patiently wait for the powerful internal dynamics of the seed to manifest themselves.
Honestly, it seems a wee bit strange since all this time, all I know is the concept of doing, of consistency, and so on, instead, I am also discussing about not doing.
See, and it is possible!
~Cheerio