"Manusia boleh membuat rencana, manusia boleh bermimpi, manusia boleh berusaha sekuat tenaga, namun hanya Dia lah yang akhirnya memutuskan, sebab Sang Maha Mengetahui tak pernah salah menentukan."
Begitu pun saat kita berteman.
Apakah kita selalu berhasil dalam berteman? Tentu saja tidak. Mungkin semua orang yang pernah kita temui di dunia ini hanya sebatas kenalan saja dan tidak semua dari kenalan kita adalah teman. Kemudian yang mengejutkan serta sulit diterima adalah ketika teman dekatmu sendiri merupakan rival terhebat yang harus kamu hadapi. Haruskah pertemanan itu hancur karena persaingan? atau justru persaingan dalam pertemanan membuat ikatan satu sama lain semakin erat? Ya. Itulah hal yang saya alami, tepatnya tiga tahun lalu.
Tiga tahun lalu, waktu dimana segala sesuatunya berjalan diluar nalar, diluar dugaan dan rencana. Tak pernah diri terbersit kalimat "sudahlah bagaimana nanti saja", semua harus teratur, semua harus terencana, semua harus ada penyokong mau kemana saya beranjak nanti? Sebab tanpa rencana, bagaimana manusia akan maju? bagaimana saya akan mengambil langkah baru tanpa tahu jejak serta setapak yang secara naluriah adalah petunjuk? Saat itulah Allah menunjukkan kekuasaanNya, saat itulah diri, ketaqwaan dengan ilmu seadanya pun diuji.
Teman saya ini, sekaligus yang tidak disangka-sangka menjadi rival, bernama Komeng, ya tentu saja nama samaran. Tenang saja, kisah ini aman untuk dipublikasikan, sudah disetujui oleh kedua belah pihak sebab sejak jauh-jauh hari saya sudah meminta izin kepadanya bahwa suatu hari nanti saya hendak mengunggah kisah kami ke laman publik.
Saya dan Komeng adalah teman sejak Taman Kanak-Kanak dan kembali satu atap sekolah sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Menengah Atas. Kami berada di satu jurusan yaitu Kelas Sosial. Awalnya semua berjalan lancar, saya yang selalu menganggapnya sebagai teman tak pernah ambil pusing jika nilai atau peringkat dia berada di atas saya. Pada kenyataannya dia adalah murid terpintar sekaligus berada di peringkat teratas paralel kelas sosial. Sekali lagi saya tekankan, saya tidak pernah memperdulikan hal tersebut sebab saya tahu, meskipun kami berada di dalam jurusan yang sama, kami mempunyai minat serta fokus yang berbeda misalnya seperti track record untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan, saya kira begitu untuk sesaat sebelum tabir kebenaran terungkap.
Karena saya selalu berpikir bahwa,
"Untuk apa merasa risih dan pusing memikirkan pencapaian serta prestasi orang lain, jika dilain sisi saya justru bisa lebih fokus untuk diri saya sendiri. Selagi orang tersebut tidak membawa pengaruh buruk terhadap saya, maka itu bukan urusan saya. Urus saja urusanmu masing-masing. Masa bodoh dengan peringkat."
Jujur, memang saat masih sekolah, saya merasa nyaman dan cocok dengan pelajaran sosial dan hal tersebut memudahkan saya dalam memahami semua pelajarannya. Saya tidak pernah merasa kesulitan kecuali beberapa pelajaran yang tidak terlalu saya sukai seperti geografi, ekonomi, ekonomi dan ekonomi. Sebutlah saya memang benci ekonomi karena menurut saya ekonomi itu memusingkan khususnya akutansi. Jujurly, dalam hati saya selalu berkomat kamit "I'M UP! I'M DONE! I was eager to get rid of it!" tapi saya tidak pernah menyerah untuk mempelajarinya. Setidaknya saya tahu, tidak perlulah menguasainya. Kabar baiknya, saya selalu bisa menyelesaikan semua soal-soal dan pembukuannya. Meskipun saya harus mempelajari semuanya dengan "ketidaksukaan" dan "keterpaksaan" serta "kesadaran penuh akan kebutuhan". Exactly, saya terpaksa memahaminya karena saya BUTUH.
Pada saat itu di dalam pikiran saya hanyalah 'pokoknya saya harus bisa, saya pasti bisa, karena menjadi bodoh itu melelahkan, karena ketidaktahuan membuat saya merasa tidak berguna.' Setidaknya saya bisa menyelesaikan dan menjalankan tugas saya sebagai murid dan anak dengan baik. Jangan mengecewakan orang tua dengan nilai merahmu. That's it. Untuk pertama kalinya saya begitu tertantang sekaligus tersiksa dalam mempelajari sesuatu dan sejak saat itu pula lah saya sadar bahwa,
"Cinta itu penting untuk dihadirkan. Cinta membuat semua urusanmu terasa mudah juga menyenangkan. Karena rasa cinta melahirkan kesukaan, meskipun kesukaran, rintangan, serta godaan datang silih bergantian, bilamana kecintaan sudah hinggap dalam dada, maka kau akan menikmati apapun yang sedang kau kerjakan."
Sayonara ekonomi, saya tidak mau lagi berurusan dengan Anda. Ohayoo Bahasa Inggris. Benar sekali, saya jatuh cinta dengan Bahasa Inggris. Sebetulnya memang jurusan bahasa yang saya pilih dan inginkan, sayangnya pihak sekolah tidak lagi membuka kelas jurusan bahasa karena kurangnya jumlah peminat pada waktu itu. Di sana lah saya, sedikit tersesat dalam kemudahan. Semakin jauh saya berkelana, semakin saya tersadar bahwa Bahasa adalah kecintaan saya, sebab mempelajari Bahasa tidak pernah ada habisnya, selalu menyenangkan dan menegangkan.
Di samping kecintaan saya dengan Bahasa khususnya Bahasa Inggris saya pun tertarik dengan dunia kerjasama antar negara (sedikit) karena sejujurnya motivasi saya saat itu adalah menjadi seorang Dubes (Duta Besar), saya merasa pekerjaan itu sangat luar biasa menakjubkan (jujurly hanya sebatas itu saja, konyol memang), alhasil untuk melanjutkan studi, saya fokus hendak mengambil jurusan Hubungan Internasional di salah satu universitas favorit anak-anak muda Indonesia. Tanpa perlu saya beri tahu, saya yakin kamu pasti bisa menebaknya. Walau belum tentu akurat, nama universitas tersebut pasti terbersit di dalam benakmu.
Singkat cerita kehidupan sekolah adem ayem sampai pada titik dimana harus memilih hendak lanjut kemana kami dalam menimba ilmu.
Berbagai ujian menghampiri kami, dari mulai Try Out yang diadakan berulang kali supaya para siswa terbiasa dalam menghadapi ujian baik itu secara mental, fisik atau pun kemampuan menganalisis dalam menyelesaikan soal-soal yang terpampang di atas kertas dan di depan layar komputer.
Alhamdulillah semua berjalan lancar, bukan berarti jalan yang kami tempuh lurus-lurus saja, tentu saja berliku, bahkan naik turun seperti rollercoaster. Belum lagi yang lebih menegangkan adalah saat mulai pendaftaran untuk melanjutkan studi ke Universitas.
Pendaftaran SNMPTN. Ya itulah poin utama saya.
Saya sudah katakan bahwa tujuan saya adalah melanjutkan studi di bidang Hubungan Internasional. Baiklah, awalnya semua lancar-lancar saja, teman saya juga tidak mendaftar ke sana. Otomatis jumlah saingan satu sekolah pun berkurang, jika di dalam sekolah pun tak banyak maka ini akan menambah keuntungan untuk pendaftar.
Komeng ini giat sekali memberi saya informasi mengenai data-data serta peluang mengenai jurusan saya. Dia selalu membantu saya, sangat baik. Justru anehnya dia lah yang tahu banyak informasi ketimbang saya sendiri, padahal secara logika harusnya saya yang lebih giat mencari informasi.
Lucunya, ternyata selama kami satu sekolah dia selalu menganggap bahwa saya adalah salah satu rival terberatnya. Jujur, saat mendengar itu saya tertawa kencang sekali. Saya tidak bisa berhenti keheranan. I mean like, bagaimana mungkin orang seperti saya yang tidak pernah belajar, belajar hanya sekenanya khususnya saya fokus belajar hanya saat guru menerangkan, sisanya saya tak pernah ambil pusing untuk menambah jam belajar di rumah. Saya bukan orang yang ambisius, sedangkan Komeng termasuk orang yang penuh dengan ambisi dan semangat. Sangat berbanding terbalik. Belum juga rampung perihal SNMPTN, Komeng bahkan sudah mendapatkan beasiswa persiapan SBMPTN. Luar biasa kan? Kalau saya? Nah, tetap santai dan menikmati ketenangan. Ya, saya sama sekali tidak ambil pusing. Sangat santai, merasa percaya diri dengan segala rencana yang sudah saya canangkan. Ketika orang lain sibuk mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional, SNMPTN atau bahkan SBMPTN, saya justru tenang-tenang saja dan lebih menikmati as being present. Ya, ternyata sebelum saya paham mengenai mindfulness, saya sudah menerapkannya sejak jauh-jauh hari. Walaupun penerapannya kurang tepat.
Pendaftaran SNMPTN sudah mulai dibuka, para siswa mondar-mandir gelisah, perasaan kami tak karuan, takut jika pilihan yang sudah ditentukan bernasib buruk diakhir kemudian. Dengan mengandalkan bimbingan yang sering kami jalani bersama guru BK, doa yang selalu kami panjatkan kepada Sang Maha Kuasa, perkiraan-perkiraan lolos tidaknya berdasarkan data seadanya yang sudah kami dapatkan, kami mulai memasukan semua dokumen yang dibutuhkan ke lama official pendaftaran. Bismillahirrahmanirrahim, saya klik tombol daftar. Dengan pilihan pertama Hubungan Internasional.
Fyuh, lega sekali rasanya saat saya sudah memencet tombol tersebut. Lebih tepatnya kelegaan sementara.
Namun, ada sebuah kebenaran dari Komeng yang tidak saya ketahui sebelum pendaftaran SNMPTN.
Yang saya ingat, dulu salah satu alasan Komeng mengambil kelas sosial karena Ia ingin melanjutkan sekolah di jurusan Hubungan Internasional. Ibunya tahu, itu adalah alasan terbesar Komeng memutuskan hal tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu keinginan Komeng pun mulai berubah. Saat itu Komeng fokus hendak mengambil Ilmu Ekonomi UI atau tidak SBM (Sekolah Bisnis Manajemen) ITB. Ia bahkan mengikuti sebuah kegiatan open house di dalam 2 kampus tersebut. Terlihat bagaimana keseriusan Komeng dalam berjuang, bukan main-main, bukan pula seperti saya yang cenderung main-main (hehe, mohon maaf yang jeleknya tidak untuk ditiru).
Awalnya Komeng tetap bersikeras hendak mendaftar fakultas impiannya. Hingga suatu hari, saat Ia berada di tempat bimbelnya, Komeng berkonsultasi dengan pihak bimbel yang mana Konsultan Komeng menyebutkan bahwa peluang masuk UI dari dari daerah kami cukuplah sulit, sedangkan dalam SNMPTN Komeng hanya memilih satu pilihan saja. Akhirnya Ia mengurungkan niatnya dari Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Saat itu pula Komeng tidak memilih SBM ITB diakibatkan masalah finansial. Coba bayangkan, Komeng harus membayar sebanyak 20 juta setiap 3 bulan sekali sedangkan SBM ITB terhitung memakan waktu perkuliahan selama 3 tahun. Pretty costly, indeed. Terlebih, kondisi keluarga yang pincang, hanya ada sosok ibu sebagai penyokong di dalam keluarganya, membuat semuanya terasa tidak mungkin bagi Komeng memilih SBM ITB.
"Nduk, ambil jurusan Hubungan Internasional UNPAD saja ya," ujar Sang Ibu halus.
"Tapi, Bu..."
"Bukankah itu alasanmu dulu, supaya kamu bisa melanjutkan studi di bidang tersebut? Ibu rasa ini yang terbaik buat kamu, Nduk," jelas Sang Ibu.
Mendengar perkataan serta permintaan Sang Ibu pun membuat Komeng dilema antara harus memilih jurusan tersebut atau tidak, sebab Komeng tahu bahwa saya mengambil jurusan itu.
Tiba-tiba satu hari sebelum penutupan pendaftaran, Komeng menghubungi saya. Saat itu dia sedang berada di dalam kamp persiapan SBMPTN. Ia memutuskan untuk mendaftar di jurusan yang sama dengan saya. Semua pernyataan, semua cerita serta curhatan, kejujuran yang dengan susah payah coba Komeng sampaikan benar-benar menghancurkan saya. Kegetiran melingkupi saya. Saya hancur dan menangis sejadi-jadinya saat membaca semua pesan darinya.
Ya, dengan terpaksa, dengan berat hati, dengan rasa bersalahnya, dengan kekhawatiran akan perasaan saya sebagai temannya, dengan keberaniannya serta rasa sayang kepada orangtuanya, Komeng memutuskan hendak mendaftar jurusan yang sama, Hubungan Internasional.
Satu hal yang saya pahami saat itu adalah
"Ketika intuisimu menyampaikan sinyal mengenai sesuatu, entah itu hal baik ataupun buruk, percayalah. Sesungguhnya kata hati itu bisa saja benar, sekali-kali dengarkanlah."
Ternyata feeling saya bahwa suatu saat nanti hal besar yang kelak akan menghacurkan saya benar-benar terjadi. Saya selalu mengenyahkan perasaan tersebut dan tetap teguh pada penderian. Belum lagi saran orang tua yang sebelumnya saya enyahkan dan lebih menganggap bahwa apa yang saya mau adalah hal yang terbaik yang harus dipilih.
Saya hancur.
Air mata terus mengalir dengan deras. Saya tak mampu berkata apa-apa. Blank. Rasanya seluruh dunia saya bobrok berkeping-keping. Tak menyangka bahwa saingan terbesar saya adalah teman saya sendiri. Tetapi di balik semua kehancuran yang saya alami, ada sesuatu yang tak pernah lepas dari diri saya. IKHLAS. Ya, seketika itu saya mengikhlaskan segalanya. Saya ridho dengan ketetapan yang sudah Allah persiapkan untuk saya. Saya tidak takut gagal, saya tidak takut untuk berjuang, justru saya semakin yakin kepadaNya. Terus nanti bagaimana? Untuk pertama kalinya saya mulai benar-benar belajar untuk,
"Let it flow, being present, and let Allah do the rest."
Apakah saya membencinya? TIDAK.
Sama sekali tidak ada kebencian bersarang dalam diri saya. Pun tidak ada perasaan jijik dan muak. Tetapi saya marah dan kecewa. Kecewa berat. Manusiawi kan? Tentu saja, karena saya hanyalah manusia biasa yang juga bisa bersedih sekaligus marah.
"Bisa-bisanya kamu tega sama saya. Kamu jahat!"
Mungkin kalian berpikir saya membalasnya dengan pernyataan di atas, justru jawabannya tidak.
Saya diam, memasrahkan semuanya kepada Sang Khaliq. Saya beristigfar sebanyak-banyaknya supaya jangan ada buruk sangka terhadapnya. Dia lakukan ini bukan sebab keputusan biasa, tetapi sudah sejak lama berbagai pertimbangan masuk ke dalam benaknya.
Dengan perasaan tak karuan pun saya menjawab, "Sudah Meng tidak apa-apa, toh kalau memang sudah rezeki juga nggak kemana. Biarpun kita berdua mendaftar di tempat yang sama, kalau Dia menghendaki kamu untuk lolos, maka itu sudah rezekimu begitu pula jika memang ini bukan yang terbaik untukku, maka sebesar apapun pengorbanan dan perjuangan yang aku korbankan bila memang bukan untukku tidak akan pernah menjadi milikku."
"Sejauh apapun kaki melangkah bila memang bukan jalannya, bukanlah perkara yang sulit bagiNya untuk membukakan setapak lain untukku pergi menuju jalan yang benar."
"Meng, aku titip mimpiku yang satu ini. Jaga mimpiku baik-baik, dan jadilah yang terbaik di bidangmu. Jangan pernah mengecewakanku, awas saja kalau berani."
Komeng membalas sembari menangis, "Iya Far, aku janji. Aku akan menjaga dan menjalani mimpimu sebaik mungkin. Aku tidak akan pernah mengecewakanmu."
"Harus."
Tak lama kemudian, pengumuman SNMPTN pun dimulai. Dan hasilnya tentu sudah jelas, Komeng masuk dan saya tidak.
Tapi lebih daripada itu, Komeng tidak semata-mata bisa menerima semuanya dengan lapang. Ia pun bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Sebut saja Komeng senang karena bisa diterima di sana tetapi tidak juga bahagia sepenuhnya karena setelah tahu keadaan saya yang sebenarnya pada waktu itu, alias tidak lolos, Komeng merasa sangat bersalah. Bahkan terbersit pikiran hendak mundur dan tidak mengambil kesempatan besar miliknya sebab rasa bersalahnya kepada saya.
Setelah kejadian itu saya merasa tidak bisa menampung semuanya sendirian, saya butuh sandaran, saya butuh untuk didengarkan dan meluapkan semua isi hati saya hingga akhirnya saya menceritakan semua ini kepada Guru BK favorit saya. Respon beliau kala itu sangat marah dan kecewa kepada Komeng. Padahal sudah sejak awal Guru BK mengatur semua alur pendaftaran siswa dan sudah dipastikan kemana setiap siswa melanjutkan studi. Alhasil ini diluar prediksi beliau.
Dan kalian tahu apa yang terjadi berikutnya? Kisah pilu ini menjadi cukup populer seantero sekolah. Ya, saya kira tidak akan sebesar itu kasusnya. Sepopuler itu. Hampir semua siswa tahu, hampir.
Menyedihkan sekali memang menjadi bulan-bulanan siswa dan beberapa guru. Kerapkali saya jengah melihat tatapan sedih dan tatapan seolah-olah mereka peduli kemudian berujar "Yang sabar ya, Farah".
Bukan hanya itu, kebanyakan dari teman saya bahkan berempati dan membayangkan seolah-olah mereka menjadi saya sembari berkata "Wah gila! Kalau aku jadi kamu, sudah marah besar dan dendamlah aku kepadanya. Kurang ajar sekali dia kepadamu. Bagaimana mungkin kamu bisa diam saja, tenang mengikhlaskan semuanya? Sungguh, kamu itu aneh, tak tahu kapan harus mengalah dan melawan. Sepenuhnya, kamu punya hak untuk menentangnya! Aku harap ia akan menerima balasan yang setimpal. Dasar gila!"
Jika teman saya ini bicara mengenai hak, Komeng pun memiliki hak yang sama dengan saya dalam memilih. Bukan wewenang saya mencegahnya meraih cita. Justru, biarkan itu sebagai jalan supaya kami menjadi lebih dewasa.
Waktu terus berlalu, berita baiknya Komeng berhasil mewujudkan mimpi saya yang tak pernah bisa terwujud. Dia betul-betul menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Bisa dikatakan saya minder, saya minder bilamana saya berada di bidang tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa saya tidak akan bisa menjalaninya sebaik Komeng. Beberapa perkara penting yang saya sadari setelahnya bahwa ternyata jika saya telaah kembali, saya memang tidak cocok berada di sana. Itu bukan bidang saya, sepertinya saya akan kewalahan dan terpontang panting saling sikut dengan manusia ambis lainnya.
Saya bangga, bangga sekali kepada Komeng.
"Kamu sudah menepati janjimu, perkataanmu bukan semata kebohongan, tetapi justru kenyataan. Dan saya di sini pun bangga sekaligus bersyukur dengan apa yang saya dapatkan setelahnya."
Saya betul-betul mendalami passion yang memang sudah lama sempat saya sadari. Dan lebih daripada itu, begitu banyak perjalanan spiritual, pelajaran hidup tentang rasa syukur, belum lagi mempunyai banyak pengalaman seru bersama kawan-kawan fakultas dan BEM, menjadi bagian dari event besar untuk bisa bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa keren dari seluruh universitas di indonesia, dan juga sosok-sosok yang sangat inspiratif seperti dosen pembimbing saya, Mam Mimien. Kepada Mam Mimien, begitu besar hormat saya kepada beliau. Beliau sosok yang luarbiasa kereeeeeennnn. Saya banyak sekali belajar bersama beliau. Dan saya sangat bersyukut sekali bahwa Allah memberikan saya banyak kebahagiaan, kemudahan, dan juga balasan yang lebih baik dari apa yang sudah saya ikhlaskan.
Saat ini saya betul-betul bahagia dan bersyukur dengan apa yang saya miliki. Bukan perihal harta ataupun materi, tetapi lebih dari itu, ketenangan.
"Ketenangan, kedamaian, ketentraman adalah kebahagiaan yang tak tertara. Tak dapat diukur, dihitung dan dilihat, tetapi justru dapat dirasakan."
Far from it.
"Sesungguhnya tidak ada hal yang lebih membahagiakan ketimbang kedamaian dalam jiwa. Tidak perlu lagi risau dengan banyak hal, sebab tahu bahwa diri merasa cukup dan lapang."
Dari mana saya mendapatkan semua itu? Saya belajar. Semua berawal dari keikhlasan dan mensyukuri apa yang ada. Tidak perlu berandai-andai "kalau saja saya begini saya begitu bisa begini bisa begitu."
No, no. You don't seem to need that.
Ikhlaskan saja yang memang bukan milikmu.
You merit for having much, much more.
Tapi percayakan semua kepadaNya. Biarkan segala sesuatu berjalan sesuai kehendakNya. Tak perlu susah payah overthinking, tenang saja.
"Everything will be alright as long as you trust Him."
At least, that's what I always do when worries sprouting against my will.
"Depending yourself only to Him at all. Can you?"
"Yes, precisely"
Mudah untuk mengucapkannya dengan mulut, tapi sudahkah betul-betul mengucapkannya dari hati?
Silakan jawab oleh pribadi masing-masing.
Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya jika saya tetap ngotot mengikuti keinginan dan justru jatuh terjerembab di jurang yang salah. Jika bukan karena pertolonganNya, kasih sayangNya, sudah dipastikan saya tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Artis Cakra Khan menyebutkan dalam lirik lagunya "Aku tanpamu butiran debu...."
"Ya, Aku tanpaMu adalah butiran debu. Jika bukan karena pertolonganMu jelas sudah aku terjatuh."
The End
.
.
.
Or
To Be Continue?
Nope, I hardly know whether it is going to be continued or not. If you are curious, let me know.
~Cheerio!
Farah Mayu Awaliyah, mempunyai hobi menulis tapi sering takut untuk memulainya, suka menggambar tapi hanya jika sedang galau. Saat ini sedang menunggu kelulusan dan mempersiapkan diri melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Bercita-cita ingin menjadi lentera bagi masa depan anak-anak Indonesia. Selalu mempunyai banyak ide gila yang seringkali terpendam sendirian. Pelan-pelan menuju cita, melakukan apa yang diperlukan. Tentunya, tidak terlalu senang berlama-lama di dunia maya jika bukan karena suatu alasan jelas.