Belajar Stoisisme Dari Sosok Fahri (Pemain Ayat-Ayat Cinta)
Photo by Luriko Yamaguchi from Pexels |
Begini nih kalo kebanyakan nonton film. Udah seneng, nggak bosen-bosen lagi untuk ngulik.
Okay, next.
Siapa sih yang nggak tahu film dwilogi satu ini, yep Ayat-ayat Cinta, salah satu fim yang cukup populer pada jamannya bahkan bisa saja sampai detik ini pun masih banyak digandrungi khalayak. Film ini diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy.
Series singkat atau dwilogi ini terdiri dari film pertamanya yang berjudul Ayat-ayat Cinta 1, dan Ayat-ayat Cinta 2. Dan kali ini saya mau langsung fokus membahas stoisisme yang tanpa sadar sudah diterapkan oleh tokoh Fahri di dalam film kedua yang diperankannya tersebut karena saya menyadari bahwa stoisisme dapat saya rasakan selama saya menonton film tersebut (Film pertamanya juga sih, tapi saya pengen bahas yang kedua aja ah).
Di mana film yang kedua ini merupakan lanjutan dari film sebelumya mengisahkan Fahri yang menghabiskan hidupnya sendiri di Edinburgh, bersama Hulusi asistennya yang berasal dari Turki. Kisah dimulai dengan Fahri yang tidak pernah mendengar kembali kabar Aisha istrinya dan menduga bahwa sosok Aisha telah hilang saat menjadi sukarelawan di jalur Gaza.
Eitsss itu baru permulaanya saja ya. Kita bahkan belum mendengar separuh dari kisahnya. Dari mulai saat itu kesedihan yang terus menghinggapi Fahri tidak membuatnya putus asa, justru ia menyibukkan dirinya sebagai seorang dosen dan juga pengusaha sukses di kota tersebut.
Hmm, do you guys reckon this?
Di sini Fahri sama sekali tidak menyalahkan keadaan, dia tidak menyalahkan istrinya yang menghilang ditengah-tengah konflik gaza, kemudian pencarian yang tidak membuahkan hasil belum lagi dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang menyebalkan. Kalian tahu respon beliau seperti apa? Ketimbang pusing memikirkan semua masalah yang begitu menjengkelkan, Fahri justru fokus kepada hal-hal yang bisa dikendalikannya, persepsinya atau penilaiannya terhadap apa yang sedang dialaminya. Realistis. Dengan penuh kesadaran ia menerima kondisinya bahwa istrinya hilang kemudian ia berusaha mencari istrinya.
Tidak sampai disitu, ia pun tetap melanjutkan kehidupannya dengan baik, memperlakukan semua tetangganya dengan adil dan hormat meskipun ia sering mendapatkan perlakuan tidak enak dari tetangganya. Apa dia membalas hinaan dan cacian yang ia dapatkan? Tidak. Apa dia langsung marah-marah tatkala mengetahui mobilnya sudah dicoret-coret seenaknya oleh tetangganya? Tidak. Dengan rendah hati, ia justru menerima itu semua dan membalasnya dengan perbuatan baik.
Gimana, penasarankan? Udah, daripada kalian kepo, lebih baik kalian coba tonton filmnya atau baca keseluruhan sinopsisnya di sini, especially bagi yang belum pernah atau sekedar ingin menonton kembali filmnya.
Jadi, apa sih Stoic itu? Sebagian pembaca mungkin sudah tidak asing lagi ya dengan filosofi satu ini. Biarkan saya menjelaskannya dengan singkat barangkali ada yang lupa hehe.
Apa itu Stoisisme?
Stoisisme menurut Kamus Oxford adalah daya tahan terhadap rasa sakit atau kesulitan tanpa mengeluh. Stoisisme sendiri merupakan ilmu filsafat Yunani Kuno yang didirikan selama periode Helenistik, periode sejarah Mediterania yang membentang dari 323 SM(setelah kematian Alexander Agung) hingga 31 SM yang menandai penurunan Yunani dari masa jayanya dan munculnya Kekaisaran Romawi.
"In its rightful place, Stoicism is a tool in the pursuit of self-mastery, perseverance and wisdom: something one uses to live a great life, rather than some esoteric field of academic inquiry."
Sedangkan poin utama dari cara hidup stoa merupakan proses yang sedang berlangsung dari mulai mengembangkan pengendalian diri, memberikan penilaian yang jelas, dan mengatasi emosi destruktif/negatif.
Saya setuju dengan pendapat Henry Manampiring(Filosofi Teras), bahwa hal utama yang ditemui selama mempelajari Stoisisme adalah betapa banyak prinsip-prinsipnya yang mirip selayaknya yang diajarkan agama, orang tua, nasihat kakek nenek, hingga budaya asli indonesia itu sendiri. Stoisisme lebih mengutamakan praktik nyata dan manfaatnya dalam hidup ketimbang meributkan dogma dan teks.
1. Hidup Selaras Dengan Alam
Salah satu ajaran utama Stoisisme adalah supaya kita hidup selarah dengan alam (in accordance with nature), artinya kita harus menggunakan akal sehat, nalar yang membedakan kita dengan makhluk lain ciptaan Yang Maha Kuasa. Mengendalikan diri dari mengikuti hawa nafsu serta emosi adalah tindakan nyata atas nilai ini.
Coba kita perhatikan beberapa situasi yang terjadi di dalam scene film Ayat-ayat Cinta 2 di mana mungkin beberapa tokoh kehilangan akal sehat walau hanya sesaat:
- Suatu hari Hulusi (Asisten Fahri) yang setiap pagi selalu menyiapkan dan mengelapi mobil yang biasa ditumpangi Fahri menemukan bahwa ada orang iseng mencoret-coret badan mobil Fahri menggunakan pilok berwarna kuning dengan tulisan (Monsters) yang - menurut kita - sengaja menyinggung perasaan pribadi. Hulusi langsung marah-marah sembari mengumpat, saking kesalnya sampai ingin menghajar si pelaku.
- Di sebuah scene kalau tidak salah ketika Fahri, Hulusi dan Misbah baru saja selesai melaksanakan sholat berjamaah. Hulusi langsung berpikiran buruk ketika Sang Imam mendekati mereka dengan raut wajah masam. Hulusi berpikir bahwa Sang Imam akan memarahi Fahri karena mengoreksi bacaan sholat yang sempat keliru.
- Sekumpulan pria muslim memaki-maki seorang wanita bercadar yang meminta-minta tepat di depan masjid. Pria itu lantas marah karena menurutnya seorang muslim yang mengemis dapat memberikan citra buruk bagi dirinya dan umat muslim.
Di semua contoh situasi tersebut, katakanlah kita atau mereka sedang tidak menggunakan nalar serta hanya mengikuti hawa nafsu saja. Apakah iya tindakan tadi bisa menghasilkan hal baik?
Kembali lagi, yang dimaksud selaras dengan alam di sini artinya, sebisa mungkin, di setiap situasi hidup yang terjadi, kita jangan sampai kehilangan akal sehat kita agar terhindar dari ketidakbahagiaan.
2. Dikotomi Kendali
Salah satu quotes populer yang saya temukan di dalam bukunya Henry adalah quotes yang Ia peroleh dari seorang filsuf. Saya yakin kalian sudah tidak asing dengan nama ini.
"Some things are up to us, some things are not up to us." - Epictetus (Enchiridion)
"Ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak berada di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita."
So, di dunia ini sudah jelas bahwa ada pembagian jelas antara yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Hal-hal yang bisa kita kendalikan adalah motivasi, usaha, dan opini. Sedangkan hal-hal yang berada di luar kendali kita adalah kekayaan, opini, perilaku orang lain, kesehatan, dsb
"Aisha masih belum bisa ditemukan," kira-kira begitulah pesan singkat yang bisa Fahri berikan ketika Misbah bertanya tentang keberadaan Aisha, istri Fahri. Fahri sudah mengerahkan segala upaya untuk mencari keberadaan Aisha yang belum diketahuinya. Sebelum berangkat baik Aisha dan Fahri sudah memastikan bahwa keberangkatan Aisha ke negara Palestina akan aman, semua sudah dipersiapkan dengan matang. Aisha datang ke sana bukan semata-mata hanya berkunjung melainkan menjadi seorang relawan. Tentunya saat mendengar kabar pemboman terjadi di tempat Aisha bertugas, Fahri sangat takut dan khawatir dengan keadaan istrinya. Belum lagi tiba-tiba sambungan telfon antara dirinya dengan Aisha tiba-tiba terputus. Di situlah momen terakhir Fahri mendengar suara Aisha. Fahri terpuruk sekali. Setelah mendengar itu semua, mungkin sebagian dari kita jika berada di dalam posisi Fahri akan memikirkan segala pertanyaan yang mengganggu, "Di mana kesalahanku ya?; Apakah persiapannya selama ini kurang baik? Apakah kebaikanku selama ini kurang di mata Tuhan?; dan seterusnya. Pada akhirnya justru jika kita serperti itu maka kita harus menegur diri sendiri untuk segera berhenti. Bagaimana dengan Fahri sendiri? Fhari tentunya langsung mengevaluasi diri, dan berhenti berlarut-larut dalam kesedihan sampai menyesalinya secara berlebihan. Terjadi pemboman di tempat Aisha bertugas itu berada di luar kendali Fahri. Pencarian yang telah dilakukan Fahri pun berada di luar kendalinya. Fahri memang bisa berusaha sebaik-baiknya dalam persiapan pemberangkatan Aisha atau pencarian Aisha, tetapi hasil akhir sepenuhnya sudah di luar kendalinya. Fahri ikhlas dengan ujian hidup yang dia alami yang kemudian justru membuatnya bisa lebih tenang. Seperti pepatah,
"Manusia yang berusaha, dan Tuhan yang menentukan hasilnya."
Dalam bukunya, Henry menyebutkan bahwa, masih ada hari esok yang masih harus diperjuangkan. Begitu pun dengan Fahri, ia tetap menjalani kehidupannya seperti biasa kembali.
TIDAK di bawah kendali kita:
- Tindakan orang lain.
- Opini orang lain
- Reputasi/Popularitas kita.
- Kesehatan kita.
- Kekayaan kita.
- Kondisi saat kita lahir, seperti jenis kelamin, orang tua, saudara-saudari, etnis/suku, kebangsaan, warna kulit, dan lain-lain.
- Cuaca, gempa bumi, wabah penyakit, peristiwa alam lainnya.
DI BAWAH kendali kita:
- Pertimbangan (judgement), opini, atau persepsi kita.
- Keinginan kita.
- Tujuan kita.
- Segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri.
Tidak hanya itu, Epictetus menjelaskan dalam buku Enchiridion,
"Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat; tetapi hal-hal yang tidak dibawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat dan milik orang lain. Karenanya, ingatlah, jika kamu salah mengira hal-hal yang bahgaikan budak sebagai bebas, dan hal-hal yang merupakan milik orang lain sebagai milikmu sendiri... maka kamu akan meratap, dan kamu akan selalu menyalahkan para dewa dan manusia."
Sederhananya, kalau lo terobsesi dengan hal-hal diluar kendali lo, seperti perbuatan /opini orang lain, popularitas, kekayaan kita dan kesehatan kita, maka siap-siap kecewa cuy.
Stoisisme mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari hal-hal yang berada di bawah kendali kita. Dengan kata lain, kebahagiaan sejati hanya datang dari dalam.
3. Kendalikan Persepsi
Sadarkah kita bahwa sumber sebenar-benarnya dari segala perasaan negatif seperti keresahan dan kekhawatiran kita itu berasal dari dalam pikiran kita sendiri, bukan dari hal-hal di luar kita. Contoh situasi yang Fahri alami diantaranya:
- Mobil dicoret-coret orang
- Salah satu mahasiswanya ada yang menganggap dirinya rasis
- Sekelompok Jewis langsung mengusir keberadaan Hulusi, Fahri, dan Misbah yang padahal dengan niat baik mengantarkan nenek Katarina ke tempat peribadatannya
- Kedatangan sepupunya Aisha yang mendadak
- Salah satu tokonya tercuri
- Istrinya masih belum ditemukan
- Dibenci oleh tetangganya sendiri
- Dianggap pembunuh
Namun di sini, baiknya, sosok Fahri tidak menganggap apa yang terjadi di dalam kehidupannya itu hal buruk. Ia tak pernah repot-repot berburuk sangka kepada orang lain. Pikiran-pikiran buruk seperti,
- "Kenapa Tuhan tega membuat istriku hilang?"
- "Sialan, saya disangka pembunuh. Kurang ajar!"
- "Kenapa harus toko saya sih yang kecurian?"
- "Saya kena karma apa ya sampai apes seperti ini?"
- "Hidup saya selalu sial, dikelilingi tetangga nggak tahu diri, mahasiswa aneh, dsb."
Selama ini apapun yang ia lakukan merupakan hal baik dan tulus. Ia tak pernah pilih-pilih dalam berbuat baik. Bahkan nenek Katarina, salah satu tetangganya begitu membenci Fahri karena menurutnya seorang muslim adalah pembunuh dan orang-orang jahat. Ia bahkan sempat menuduh Fahri dan Hulusi telah melakukan hal bejat kepada Brenda. Meski demikian, dengan tulus Fahri justru mengabaikan hal tersebut dan menawarkan tumpangan kepada nenek Katerina. Sebab Fahri ikhlas menerima bahwa ini merupakan ujian kesabaran untuknya.
4. Jangan menyalahkan diri sendiri
Seringkali jika kita mengalami suatu musibah, ujian atau ketidakberuntungan, kita menyalahkan diri sendiri. Stoisisme mengajarkan kita berhenti berpikir hal tersebut dan coba untuk mengendalikan persepsi kita terhadap suatu kejadian. Seperti yang dilakukan Fahri dalam menyikapi semua ujian yang melanda hidupnya.
Fahri menyadari bahwa apa yang ia alami adalah sesuatu yang di luar kendali sehingga tidak perlu merasa sedih berlarut-larut karenanya dan bahwa kejadian itu merupakan kehendak alam karena segala hal di dunia saling berhubungan satu sama lain. Sama seperti yang diajarkan stoisisme, Fahri tidak pasrah begitu saja dan tidak menyalahkan orang lain.
Recalling that,
"There's nothing either good or bad, but thinking makes it so." - William Shakespeare
Stoisisme mengajarkan kita untuk menginterpretasi peristiwa negatif sebagai ujian, kesempatan untuk menjadi lebih baik. Begitu pula yang dilakukan oleh Fahri. Sebelum ia menemukan semua kebahagiaannya kembali, ia sempat kehilangan istrinya dan ditinggalkan orang-orang terkasihnya. Sebelum ia berhasil menjadi dosen yang pintar dan terkenal, ia dituduh dan harus menjalani hukuman penjara yang bahkan bukan kesalahannya sendiri(potongan scene di film pertamanya).
"Constant misfortune brings this one blessing. Those whom it always assails, it eventually fortifies." - Seneca
Di balik setiap musibah yang terjadi di hidup kita, senantiasa selalu ada kesempatan kita menjadi seseorang yang lebih kuat.
Gimana?
Sudahkah menerapkan stoisisme?
Bagaimana rasanya sejauh ini?
Perubahan apa saja yang sudah dirasakan? Komen di bawah sini ya.
~Cheerio
------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Epictetus. 2017. The Enchiridion. Independently published
https://dailystoic.com/stoicism-five-lessons/, diakses pada 15 juli 2022
https://www.idntimes.com/science/discovery/deny-hung/5-pelajaran-penting-stoisisme-c1c2?page=all, diakses pada 20 Agustus 2022
Manampiring, Henry. 2019. Filosofi teras : filsafat Yunani-Romawi kuno untuk mental tangguh masa kini. Jakarta : Kompas.
Marcus Aurelius. 2018. Meditations. New York: East Indian Publishing Company
Seneca. 1969. Letters from a Stoic. London: Penguin Books.